WELLCOME TO MY BLOG

di sini lo semua bakal dapat, liat, baca, dan sekaligus menilai coretan tangan dari seorang pendosa mengaku sebagai anak adam yang mungkin buat lo nantinya ya...., sekedar biasa (cuman buat ngisi kekosongan trus iseng nyoret-nyoret ga' penting), lumayan, bagus, jelek, atau jelek banget, ha ha ha... (garing + tengsin). tapi, apalah itu terserah apa yang ada di mind lo semua yang jelas gw secara sadar dan tanpa rasa terpaksa menulis isi di blog ini... SILAHKAN LO BACA APA YANG ADA DI SINI.
tanky bertubi-tubi

Kamis, 21 April 2011

ME AND POLICE’S STORY

Sebelumnya saya minta maaf jika nantinya menurut anda tulisan ini meremehkan sebuah instansi, jabatan, seseorang, atau apa saja yang menurut anda nantinya itu salah dan tidak perlu diucapkan, dipikirkan atau dituliskan. Dari itu saya mohon maaf.
Ini cerita mengenai pikiran dan pandangan saya (pikiran dan pandangan saya objektif; tidak selalu benar) tentang polisi yang beberapanya beranjak dari pengalaman saya sendiri dengan mereka.
Kejadian ini sekitar tahun 2007 yang lalu saat itu saya mengantar kakak perempuan saya ke pegadaian, setelah saya parkir dan langsung duduk di salah satu bangku panjang yang khusus disediakan di depan kantor pegadaian tersebut. Saya duduk sendiri cukup lama, sesekali saya beranjak dan masuk ke dalam pegadaian. Di sana antrian lumayan padat yang menurut saya tidak akan bisa pulang dengan cepat akhirnya saya keluar ruangan tersebut dan kembali duduk di tempat semula. Untuk mengurangi rasa bosan sesekali saya membuka dan mengutak-atik cellular. Tidak lama setelah itu seorang polisi dengan pakaian lengkapnya menghampiri bangku tempat saya duduk, mungkin sengaja mencari tempat duduk atau kasihan melihat saya cukup lama duduk sendiri di bangku tersebut. Tanpa memperkenalkan diri, tanpa berjabat tangan pula saya yakin kalau namanya adalah Herman karena nama yang tertera di seragam yang dipakainya. Ramah, ini kesan yang coba ditunjukkan kepada saya. Di luar image orang-orang sepertinya yang buat orang biasa seperti saya menganggapnya sangar, cuek, acuh dan sebagainya tapi untuk kali ini semua nggapan itu salah, atau mungkin ini hanya naluriah atau pembawaan seseorang saja terlepas dia itu siapa, backgroundnya apa, seperti apa dan bagaimana. Kita mengobrol cukup akrab seperti sudah terbiasa sebelumnya, dia bisa menjadikan apapun itu menjadi sebuah topik obrolan kami mulai dari pengalaman hidupnya, perjuangannya hingga masalah percintaannya yang pernah memboking wanita di salah satu balai yang ada di pantai pada suatu malam, dia juga pernah berhubungan dengan kekasihnya dan mengeluarkan cairan tubuhnya tidak kurang dari tujuh kali dalam sehari (saya tidak siap jika harus membicarakan ranah privasi saya kepada orang lain), “dari pada saya memperkosa tangan” itu alasannya. Dilanjutkan lagi, dia sempat konsultasi ke dokter tentang masalah tersebut. Katanya menurut dokter, berhubungan hingga melampaui batas seperti yang dilakukan tersebut tidaklah baik. Sebaiknya jika belum menikah jangan dilakukan, bila memang mau setidaknya dilakukan sekali dalam dua minggu, dia langsung mengetuk dengkul saya dan berkata “kalau orang ganteng seperti side ini, wah airnya sudah habis sering dibuang-buang” kurang lebih seperti itu yang dikatakannya sambil tertawa (saya lupa-lupa ingat). Saya berpikir dia hanya mau mengajarkan saya tentang bahaya pergaulan bebas yang tidak harus dilakukan oleh remaja belasan tahun seperti saya meski dengan cerita yang sengaja dikarang atau memang itu benar adanya tidaklah penting buat saya tapi yang jelas obrolan pagi itu memberi saya sedikit pengetahuan yang langsung dari sumbernya. Tidak lama setelah itu kakak perempuan yang saya tunggu sudah keluar dari ruangan pegadaian. Saya pun harus kembali pulang ke rumah. “kapan-kapan kita ngobrol lagi” saya menutup obrolan kami sambil memutar balik arah motor saya, dia hanya tersenyum dan mengangguk. Sampai saat ini saya tidak pernah bertemu kembali dengan sosok Herman, seorang anggota polisi yang ramah dan sudah memberi saya sedikit pelajaran yang berarti pagi itu.
Masih di tahun 2007 (seingat saya). Sore itu sedang ada pertandingan bola di daerah saya, Sumbawa Barat. Kebetulan saya sedang tidak ada kelas di kampus, saya dan beberapa teman saya akhirnya ke alun-alun kota untuk menyaksikan pertandingan bola sore itu. Di samping saya berdiri seorang polisi dewasa sepertinya. Berbeda dengan polisi yang saya ceritakan di atas tadi sebelumnya, kali ini bapak yang satu ini hanya berdiri dan menyorotkan pandangannya ke arah bola yang sedang di kejar-kejar 20 orang saat itu. Tidak lama seorang datang dengan suara motornya yang agak ribut buat saya (tempat berdiri saya di tepat di samping jalan raya), saya menoleh ke belakang rupanya yang datang adalah seorang polisi dengan tatanan rambut klimis ala Korea (meletakkan helm di spion motor yang tadi dikendarainya) lalu menghampiri polisi yang berdiri di samping saya. “rambut kau tu!” itu yang dikatakan bapak yang berdiri di samping saya, yakin kalimat tersebut diarahkan pada polisi yang baru saja datang (rambut depannya berponi lempar, tipis seperti gaya anak muda umumnya). Yang saya pikirkan adalah apakah seketat itu disiplin yang diterapkan untuk seorang anggota kepolisian? Atau mungkin hal tersebut berlaku ketika seorang polisi masih memakai seragam kerjanya?. Mungkin ini resiko menjadi aparat, beberapa haknya harus rela dipangkas (rambut kali…), bergaya saja tidak sebebas orang biasanya. Yah…, mungkin ini menjadi resiko orang seperti mereka!. Saya punya tiga orang teman dari anggota kepolisian. Seperti yang dikatakannya, mereka sudah terbiasa dengan hal-hal semacam itu bahkan mungkin lebih dari itu Karena semasa mereka dalam pendidikan mereka ditempa habis-habisan dan sangat keras dari yang mereka bayangkan sebelumnya. Hal tersebut bukan tidak beralasan, karena semua yang mereka dapatkan di pendidikan, mulai dari cacian, makian dari senior/pendidik mereka agar terbiasa karena nantinya saat mereka terjun melaksanakan tugas di tengah masyarakat mereka pasti akan menemukan hal-hal semacam itu bahkan mungkin resikonya jauh lebih besar dari apa yang mereka dapatkan sewaktu mereaka dalam masa pendidikan.
Selanjutnya di bulan agustus 2009, saat itu saya menjadi Pembina Pendamping pada event pramuka. Pagi itu kebetulan air di tenda kami sudah habis, saya akhirnya berinisiatif untuk ke luar bumi perkemahan untuk membeli air. Di sekitar bumi perkemahan tidak ada yang menjual air isi ulang, mau tidak mau saya ke tengah kota untuk mencari depot air isi ulang. Di jalan raya sekitar 200 meter di depan saja seorang polisi memberhentikan beberapa orang, reflek saya berhenti (sadar saya tidak membawa surat motor yang saya kendarai) dan memutar balik mengambil jalur lain yang polisinya tidak ada yang berjaga. Jalan yang saya lalui sangat lancar sampai saya menemukan depot air untuk mengisi galon kosong yang saya bawa dari bumi perkemahan. Ketika perjalanan kembali ke buper melewati persimpangan motor saya diberhentikan oleh seorang polisi. “(sambil hormat singkat) selamat pagi pak, maaf mengganggu perjalanannya tolong bisa dikeluarkan surat-suratnya?” sambil gugup saya mengeluarkan SIM dan STNK motor yang ada di dompet. Kebetulan kaca spion motor Suzuki yang saya kendarai tidak ada, saya ditanya tentang hal tersebut dan sayapun menjawab dengan alasan ini dan itu. Tidak lama melihat STNK yang saya berikan tadi saya dipersilahkan melanjutkan perjalanan. (yang masih membingungkan saya, STNK yang saya keluarkan adalah Thunder sedangkan motor yang saya kendarai Spin, saya yakin polisi tersebut bisa membaca dan masih bisa membedakan sesuatu termasuk model motor). Ternyata Polisi itu orang baik, biasanya plat kendaraan berbeda saja pasti langsung ditilang tapi pagi itu tidak sama sekali.
Tahun 2011, kejadian ini ketika saya dan 4 orang teman sedang berada di Lombok Timur, siang itu kondisi teman perempuan kami sedang sakit lalu saya dan seorang teman lagi membeli obat di apotik yang ada di kota sekitar lima kilometer jauhnya dari tempat kami menginap. Saat berhenti di traffic light, di depan sudah ada polisi yang berjaga dan di sekitarnya beberapa motor yang terparkir. Was-was, karena motor yang kami kendarai tidak ada kaca spionnya, terang saja gayung bersambut dan ulampun tiba, atau apalah itu peribahasanya, bapak polisi itu menaiki motornya dan menghampiri kami. “ke samping pak!” perintahnya. Selanjutnya tanpa meminta maaf seperti yang dilakukan polisi Sumbawa langsung meminta kami memperlihatkan surat dan sim. Semuanya tidak ada, SIM, STNK, spion, helm. Kunci motor dicabut dan kami diminta berjalan sampai ke pos. semuanya tentang kami berdua ditanya mulai dari nama, alamat, pekerjaan, dll. “bagaimana kamu ini, sudah tidak ada SIM, STNK, spion. Kalo helm yang dibelakang masih bisa tapi ini. Aduh” banyak alasan yang kami gunakan agar dapat telepas dan dibolehkan jalan tanpa ada yang harus ditunggu. Dengan alasan teman yang sakitpun rupanya tidak mempan, kami dibolehkan mencari obat untuk ke apotik tapi dompet beserta KTP ditahan sebagai jaminan kami akan kembali. di tengah mencari obat di perjalanan sambil kami mencari alasan-alasan jitu agar urusannya cepat selesai, karena hari itupun kami harus pulang ke Sumbawa. Setelah mendapatkan obat, kami langsung kembali ke pos polisi tadi, sempat diberikan surat tilang, sempat juga kami menolak dan berargumen dengan sekian banyak macam alasan. Akhirnya sampai di tahap damai, “kalau tidak mau kasih saya tujuh puluh lima ribu saja karena surat tilangnya sudah terlanjur ditulis, masalah sidang dan lainnya biar nanti urusan saya. Urusannya selesai kalian juga bisa cepat pulang ke Sumbawa” mendengar tawaran itu sepertinya angin segar untuk bisa sedikit bernafas, sempat menawar lima puluh ribu, tapi polisi itu mematok harga mati menjadi tujuh puluh ribu. Dari pada urusannya lebih panjang akhirnya uang tujuh puluh ribu kami ikhlaskan hilang dari dompet, toh itung-itung itu sudah menjadi harga yang kami bayar karena sudah melanggar peraturan. Bisa saja polisi tersebut meminta lebih dari itu karena kami orang Sumbawa (maklum di Lombok kata Sumbawa menjadi harga mahal jika menyangkut masalah uang) atau malah tetap mengharuskan kami mengikuti sidang dua hari kemudian yang padahal senin esok kami harus sudah ada Sumbawa untuk kembali bekerja. Pelajaran yang bisa diambi adalah polisi bisa tetap tegas dengan semua disiplin dan peraturan yang harus ditegakkan dan dijalankan tetapi polisi juga manusia yang punya perasaan, yang bisa mempertimbangkan semua konsekuensi dengan kondisi yang ada.

( don’t ever judge something from the cover)


By: dadarguling95@yahoo.com / manusaallorya@ymail.com
Mansy. Siroj Priamitra 18 April 2011, 10.47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar