WELLCOME TO MY BLOG

di sini lo semua bakal dapat, liat, baca, dan sekaligus menilai coretan tangan dari seorang pendosa mengaku sebagai anak adam yang mungkin buat lo nantinya ya...., sekedar biasa (cuman buat ngisi kekosongan trus iseng nyoret-nyoret ga' penting), lumayan, bagus, jelek, atau jelek banget, ha ha ha... (garing + tengsin). tapi, apalah itu terserah apa yang ada di mind lo semua yang jelas gw secara sadar dan tanpa rasa terpaksa menulis isi di blog ini... SILAHKAN LO BACA APA YANG ADA DI SINI.
tanky bertubi-tubi

Kamis, 21 April 2011

UAN ; UJIAN ADU NASIB

Bicara masalah pendidikan mungkin rada susah, secara pendidikan kita ga’ pernah luput dari yang namanya masalah. Ingat aja deh, mulai dari sistem yang selalu dirombak (KTSPlah, SKSlah, KBKlah, apalah) , namanya juga ga’ habis-habisnya buat dirubah (UN, UAN, UNAS, beberapa tahun ke depan ga’ tau pake nama apa lagi) tanpa terkecuali tajuk sekolahnya yang ga’ punya kepribadian (SLTA, SMU, SMA, yang konsisten cuman SD doang yang lain mah ga’). Apapun itu terserahlah ya? Bukan urusan kita juga, kalau masalah yang kayak gitu serahin aja semua ama pejabat tinggi yang memang punya kuasa, kalau kita mah, tinggal nunggu hasil musyawarah mereka terus complain kalau memang kita ga’ nyaman ama hasil itu (termasuk juga kalau ga’ ada duit pelicinnya).
Nah talk about UAN, sedikit jengkel sih, eh, sorry jengkel banget malahan. Masa belajar kita yang tiga tahun cuman dihargai dalam waktu ga’ lebih dari lima hari doang. Itu masalah ujian yang soalnya langsung dari pusat lalu apa kabar ujian sekolah ? yup, tahun diberlakukannya standar kelulusan untuk 3 mata pelajaran yang dari pusat, mata pelajaran yang diUASkan asli tidak menjadi tolak ukur kelulusan siswa hingga tahun 2010 yang lalu.
Jujur, gw bisa ngeluh seperti ini karena memang gw juga ga’ lulus UAN di tahun 2006 yang lalu, sempat ditawarin buat ikut ujian penyesuaian Paket C tapi gw dan ketika ga’ lulus malah di ajuin buat ikut ujian penyesuaian (disamakan; seperti) orang-orang yang tidak pernah bersekolah SMA selama 3 tahun. Males ga’ lo? Yup, gw juga. Akhirnya kami sepakat untuk ikut ujian tahun depan. Kekesalan ga’ hanya dari gw ataupun teman-teman yang lulus ataupun ga’ lulus tapi juga dari guru-guru kami. Buat gw sendiri ini sulit dipercaya, (bukan maksud gw sombong) di kelas gw ga’ terlalu pinter tapi untuk siswa yang menjadi nomor tiga, otak gw masih bisa diandelin buat mecahin masalah yang dikasi guru di kelas. Jangankan gw yang diperingkat tiga, peringkat dua di kelas gw aja ga’ lulus juga. Saat itu gw mengambil jurusan IPA, untuk menghadapi UAN jauh-jauh hari kami udah mempersiapkan diri dengan belajar, kemana-mana yang namanya buku ga’ pernah lepas dari tangan, nunggu waktu shalat bahkan sampai antri nunggu giliran mandi aja pasti buka buku. gw sendiri sadar dengan kelemahan dalam pelajaran matematika maka dari itu gw lebih mentingin matematika saat belajar. Dalam seminggu belajar bahasa Inggris hanya gw fokusin dalam sehari, bahasa Indonesia dua hari dan sisanya gw tempa diri dengan belajar matematika. Persiapan ujian belajar mati-matian untuk lulus (tujuan utama kita adalah lulus, ga’ ada yang lain) tapi hasil yang ada justru berbanding terbalik dengan usaha yang udah gw lakuin sebelumnya. Nilai gw jatuh di matematika 3,36 sedangkan standar nilai saat itu adalah 4,00, bahasa Indonesia gw cuman dapet 7,xx dan bahasa Inggris gw dapet 9,xx.
Teman-teman yang lulus kebanyakan yang kemampuannya jauh di bawah kami yang tidak lulus, di sana mereka yang nakal, sulit di atur, tidak serius belajar. Saya begitu faham dengan keadaan dan sifat mereka karena kami berada dalam satu asrama dan dikarantina dalam satu kamar. Ketika tahun 2007 gw sendiri ikut ujian berbeda 180 derajat dengan yang pernah gw lakuin untuk menghadapi UAN tahun sebelumnya, menghadapi UAN tahun 2007 gw ga’ pernah nyentuh buku sedikitpun tapi hasil yang keluar nilai matematika 6,00 meskipun segitu, nilai gw paling tinggi di antara teman-teman yang ikut ujian. Jadi kesimpulannya UAN adalah Ujian Adu Nasib.
Tapi Ujian Nasional tahun ini kayaknya udah bisa ngasi angin segar buat seluruh siswa SMA khususnya, karena nilai dari pelajaran yang di UASkan bisa digunakan sebagai aspek kelulusan meskipun pengaruhnya cuman 40 %, ga’ apa-apalah, paling ga’ saat mereka ikut ujian sekolah nilai yang mereka peoleh ga’ sia-sia alias kebuang percuma.
Selain itu keunikan tersendiri yang selalu ada setiap kali mendekati atau tengah berlangsung Ujian Nasional di sekolah banyak yang mengadakan shalat duha, sarapan bersama sebelum masuk ruang ujian, tausyiah tentang ujian, shalat magrib berjamaah dan banyak lagi kegiatan positif saat-saat ujian berlangsung. “anak muda, waktu lagi kesusahan aja pada mau nginjak masjid semuanya, ntar kalo susahnya udah ga’ ada, pada ngikut ngilang. Ga’ kenal masjid”. Canda sindir seorang lebai masjid saat kebanyakan pelajar SMA berbondong-bondong ke masjid. Ga’ apa-apalah, paling ga’ Ujian Nasional udah ngebawa hal yang positif buat para muda maskipun ini cuman sesaat dan mereka sadar bahwa saat berdekatan dengan Tuhan akan membawa hal yang baik pula untuk ke depannya.
UNTUK ADIK-ADIKKU YANG SEDANG, AKAN, ATAU MASIH AKAN MENGHADAPI UJIAN. SEMOGA KALIAN SUKSES DAN MENDAPAT RIDHO DARI-NYA

By: dadarguling95@yahoo.com / manusaallorya@ymail.co
Mansy. Siroj Priamitra 19 April 2011, 11.33pm

PETUAH ATASAN

ketika berbicara dengan orang yang lebih tua saya selalu menjadi pendengar yang baik, mengiyakan sesuatunya dengan mengangguk, mengucap kata “ya” dan sesekali menyela dengan apa yang ada di pikiran saya.
Ketika itu banyak nasihat dan kata-kata bertuah sudah pasti ada dan akan selalu saya tanamkan di otak saya. Mungkin saja suatu saat nanti ketika berhadapan dengan sesuatu hal apapun itu kedepannya baik atau buruk, nasihat yang mereka berikan bisa jadi panduan dan referensi saya dalam meutuskan segala sesuatunya.
Hari ini ekitar jam sepuluh pagi, saat salah seorang rekan kerja di ruangan saya, Riyan (bukan nama sebenarnya), tidak bisa bekerja seperti biasa dikarenakan kondisinya yang kurang mendukung untuk masuk bekerja sejak kemarin. “kemarin dia ikut demo ya?” Tanya Pimpinan saat melihat rekan saya tidak ada di meja kerjanya. Saya dan satu rekan yang masih dalam ruangan itu menjawab tentang kondisinya yang sejak kemarin sehingga tidak memungkinkan dia masuk kerja sampai hari ini. Pimpinan memaklumi kondisinya sambil memeberi kami petuah. (dimulai dari sini)
“semua apa yang kita dapat berdasarkan apa yang kita perbuat, contohnya saja saat bekerja seperti ini mungkin pernah tidak amanah dengan pekerjaan dan tanggung jawab. Akhirnya hasil yang kita dapat tidak barokah malah mendatangkan susah untuk diri sendiri” kurang lebih seperti itu yang beliau katakan. (sebelumnya maaf, bukan maksud mengunjing rekan kerja) memang belakangan ini beberapa pegawai lainnya merasa kecewa dengan kinerja rekan seruangan saya yang satu ini. Bagaimana tidak beberapa pekerjaan yang dijanjikannya akan selesai dalam sehari malah sering molor hingga tiga sampai empat hari waktu penyelesaiannya. Padahal laptop kantor dipercayakan kepadanya untuk dibawa pulang agar beberapa pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan bisa dibawa pulang tapi hal tersebut tidak berpengaruh dalam kinerjanya. Pernah juga dia berinisiatif sendiri untuk mengambil peralatan kantor yang sudah selesai direparasi, cukup lama dia tidak kembali ke kantor setelah berkata bahwa dia yang akan mengambil sendiri property tersebut. Atasan langsung meneleponnya tentang masalah tersebut “maaf bos, saya masih di balai kantor desa karena ada masalah. Sebentar lagi saya akan ambil sendiri ke sana”. Pimpinan mana yang tidak jengkel, merasa disepelekan perintah yang ditugaskan pada bawahannya. Tentang kinerjanya itu sebenarnya pimpinan tidak terlalu mempersoalkan karena masih ada saya dan satu rekan seruangan Riyan yang bisa meng-handle pekerjaan yang sekiranya harus dikerjakan saat Riyan tidak ada. Tapi Pimpinan mulai sedikit tidak enak hati saat beberapa kali pegawainya yang lain sering mengeluh tentang kinerja Riyan
Saat ada rapat koordinasi, evaluasi dan pembagian tugas, Riyan diberikan tugas khusus untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh pimpinan saja sedangkan urusan yang menyangkut kepegawaian lainnya langsung berurusan pada saya dan rekan yang satunya lagi. Tapi tetap saja ini malah membuatnya semakin ringan untuk bekerja semaunya. Saat Pimpinan harus pulang lebih awal, Riyan pun izin keluar kantor untuk suatu keperluan yang hanya dia sendiri yang tau, tetapi anehnya sampai jam kantor usai dia tidak kembali, itu terjadi tidak hanya sekali atau dua kali, tapi berkali-kali.
“bekerjalah sungguh-sungguh sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing, saya tidak semata-mata memberi kalian pekerjaan tapi saya awasi dan saya nilai sendiri kinerja kalian”. Beliau juga mengatakan bahwa pengasilan yang kecil jangan dijadikan alasan untuk bekerja semaunya karena uang itu bisa datang lewat dan sisi manapun tergantung yang Memberi (sambil menunjukkan jarinya). Ditambahkan lagi jika barokah pekerjaan kita bukan berasal dari bentuk pekerjaan atau tanggung jawab yang kita emban tapi lebih pada kepuasan orang yang memberi kita tanggung jawab dan kepuasan semua aspek di sekekliling kita yang merasakan langsung efek dari pekerjaan dan tanggung jawab kita, disitulah inti barokah itu. “jika sudah seperti ini uang itu bisa datang dari mana saja, tidak selalu dari gaji kita” lanjutnya lagi sambil sesekali menepuk paha dan menyentuh tangan saya.
“jangan pernah berkata bahwa, ini milik saya, ini hasil saya. Jangan!” saya pun menangkap dan mengiyakan pernyataan beliau tentang hal tersebut. Kita hanya manusia, kita bukanlah apa-apa jika tidak ada Tuhan yang menjalankan darah, menggerakkan organ, dan membiarkan udara setiap harinya untuk kita hirup, karena semua yang ada di diri kita atau di sekeliling kita bukanlah milik kita, kita hanya dipinjamkan untuk kita jaga dan kita jalankan sesuai rule yang ada.
“saya seorang bapak bagi anak-anak saya, bukan maksud saya menyanjung diri saya, tapi beginilah saya. Saya melakukan semua, berjuang untuk keluarga saya” kata beliau yang buat saya itu kata yang tulus (sepanjang beliau berbicara saya menatap matanya). Banyak orang bilang tentang hidup anak-anak pimpinan saya yang enak bisa menjadi anak orang kaya dan sayapun sempat berpikir sama tapi saat ini pandangan saya berubah dan itu karena suatu hal yang yang belum pernah beliau ceritakan kepada orang lain tentang segala sesuatu yang dimiliki anak-anaknya. Beliau menyimpulkan ada tiga tipe orang tua, pembimbing, (orang tua) penonton dan membuat kapok (jera). Belia juga membandingkan seorang penjual bahan material (seperti biasa beliau selalu meminta maaf, bukan niat membicarakan orang lain) yang ada di dusun sebelah yang sangat mereki/ perhitungan. Bagaimana tidak, anaknya sendiri yang menghutang bahan bangunan saja tidak diperbolehkan padahal itu anak sendiri “saat kita sakit bahkan mati nanti, yang mengurusi kita adalah anak-anak kita. Bukan orang lain” ini alasan beliau yang patut dibenarkan. Sama halnya dengan orang tua yang menonton anak-anaknya (sudah membesarkan dan menikahkan rasanya sudah cukup) tanpa berbuat sesuatu untuk kebaikan anak-anaknya padahal mereka bisa dan mampu melakukan itu. “tapi saya mencoba dan masih mencoba untuk penjadi orang tua sekaligus pembimbing untuk anak-anak dan menantu-menantu saya” kurang lebih itu maksud yang ingin ditunjukkan beliau kepada saya, memang semua anak-anak beliau sudah berkeluarga dan berumah sangat dengan dengan rumah beliau.
Satu hal lagi yang mungkin tidak banyak orang yang tau, saat melihat rumah anak-anaknya yang bisa dikatakan bagus dan berdiri beberapa waktu setelah mereka menikah, rasanya tidak mungkin melihat menantu dan anak-anaknya saat itu bukan pegawai negeri sipil (katakan saja seperti itu standar rata-rata tingkat kemapanan orang-orang kampung). Satu yang terpikir bahwa beliaulah yang membuatkan rumah untuk anak-anaknya. “memang benar dan wajar mereka mengatakan seperti itu karena yang terlihat di luarnya memang seperti itu, tapi mereka tidak tau kalau sebenarnya saat saya membangun itu untuk mereka sudah ada perjanjian bahwa mereka akan menyicil biaya pembangunannya” kesan dan pendapat orang sebelumnya salah, saat ini saya baru tau. “sama halnya dengan mobil, suami anak saya yang anggota polisi saya tawarkan mobil second saat mereka mau membeli mobil baru. Toh, mobil itu juga bekas ayahnya bukan orang lain. Lalu mereka membeli mobil itu dan saya membeli mobil baru untuk Gita (anaknya yang terakhir). Sekarang Gita sudah menikah, tanggung jawab saya sekarang tinggal memantau dan membimbing mereka” lanjutnya lagi. Satu lagi pelajaran yang dapat saya ambil yaitu kata beliau bahwa

“keberhasilan orang tua adalah saat meraka mampu membimbing anak-anaknya”

By: dadargguling95@yahoo.com / manusaallorya@ymail.com
Mansy. Siroj Priamitra Selasa, 19 April 2011, 04.20pm

ME AND POLICE’S STORY

Sebelumnya saya minta maaf jika nantinya menurut anda tulisan ini meremehkan sebuah instansi, jabatan, seseorang, atau apa saja yang menurut anda nantinya itu salah dan tidak perlu diucapkan, dipikirkan atau dituliskan. Dari itu saya mohon maaf.
Ini cerita mengenai pikiran dan pandangan saya (pikiran dan pandangan saya objektif; tidak selalu benar) tentang polisi yang beberapanya beranjak dari pengalaman saya sendiri dengan mereka.
Kejadian ini sekitar tahun 2007 yang lalu saat itu saya mengantar kakak perempuan saya ke pegadaian, setelah saya parkir dan langsung duduk di salah satu bangku panjang yang khusus disediakan di depan kantor pegadaian tersebut. Saya duduk sendiri cukup lama, sesekali saya beranjak dan masuk ke dalam pegadaian. Di sana antrian lumayan padat yang menurut saya tidak akan bisa pulang dengan cepat akhirnya saya keluar ruangan tersebut dan kembali duduk di tempat semula. Untuk mengurangi rasa bosan sesekali saya membuka dan mengutak-atik cellular. Tidak lama setelah itu seorang polisi dengan pakaian lengkapnya menghampiri bangku tempat saya duduk, mungkin sengaja mencari tempat duduk atau kasihan melihat saya cukup lama duduk sendiri di bangku tersebut. Tanpa memperkenalkan diri, tanpa berjabat tangan pula saya yakin kalau namanya adalah Herman karena nama yang tertera di seragam yang dipakainya. Ramah, ini kesan yang coba ditunjukkan kepada saya. Di luar image orang-orang sepertinya yang buat orang biasa seperti saya menganggapnya sangar, cuek, acuh dan sebagainya tapi untuk kali ini semua nggapan itu salah, atau mungkin ini hanya naluriah atau pembawaan seseorang saja terlepas dia itu siapa, backgroundnya apa, seperti apa dan bagaimana. Kita mengobrol cukup akrab seperti sudah terbiasa sebelumnya, dia bisa menjadikan apapun itu menjadi sebuah topik obrolan kami mulai dari pengalaman hidupnya, perjuangannya hingga masalah percintaannya yang pernah memboking wanita di salah satu balai yang ada di pantai pada suatu malam, dia juga pernah berhubungan dengan kekasihnya dan mengeluarkan cairan tubuhnya tidak kurang dari tujuh kali dalam sehari (saya tidak siap jika harus membicarakan ranah privasi saya kepada orang lain), “dari pada saya memperkosa tangan” itu alasannya. Dilanjutkan lagi, dia sempat konsultasi ke dokter tentang masalah tersebut. Katanya menurut dokter, berhubungan hingga melampaui batas seperti yang dilakukan tersebut tidaklah baik. Sebaiknya jika belum menikah jangan dilakukan, bila memang mau setidaknya dilakukan sekali dalam dua minggu, dia langsung mengetuk dengkul saya dan berkata “kalau orang ganteng seperti side ini, wah airnya sudah habis sering dibuang-buang” kurang lebih seperti itu yang dikatakannya sambil tertawa (saya lupa-lupa ingat). Saya berpikir dia hanya mau mengajarkan saya tentang bahaya pergaulan bebas yang tidak harus dilakukan oleh remaja belasan tahun seperti saya meski dengan cerita yang sengaja dikarang atau memang itu benar adanya tidaklah penting buat saya tapi yang jelas obrolan pagi itu memberi saya sedikit pengetahuan yang langsung dari sumbernya. Tidak lama setelah itu kakak perempuan yang saya tunggu sudah keluar dari ruangan pegadaian. Saya pun harus kembali pulang ke rumah. “kapan-kapan kita ngobrol lagi” saya menutup obrolan kami sambil memutar balik arah motor saya, dia hanya tersenyum dan mengangguk. Sampai saat ini saya tidak pernah bertemu kembali dengan sosok Herman, seorang anggota polisi yang ramah dan sudah memberi saya sedikit pelajaran yang berarti pagi itu.
Masih di tahun 2007 (seingat saya). Sore itu sedang ada pertandingan bola di daerah saya, Sumbawa Barat. Kebetulan saya sedang tidak ada kelas di kampus, saya dan beberapa teman saya akhirnya ke alun-alun kota untuk menyaksikan pertandingan bola sore itu. Di samping saya berdiri seorang polisi dewasa sepertinya. Berbeda dengan polisi yang saya ceritakan di atas tadi sebelumnya, kali ini bapak yang satu ini hanya berdiri dan menyorotkan pandangannya ke arah bola yang sedang di kejar-kejar 20 orang saat itu. Tidak lama seorang datang dengan suara motornya yang agak ribut buat saya (tempat berdiri saya di tepat di samping jalan raya), saya menoleh ke belakang rupanya yang datang adalah seorang polisi dengan tatanan rambut klimis ala Korea (meletakkan helm di spion motor yang tadi dikendarainya) lalu menghampiri polisi yang berdiri di samping saya. “rambut kau tu!” itu yang dikatakan bapak yang berdiri di samping saya, yakin kalimat tersebut diarahkan pada polisi yang baru saja datang (rambut depannya berponi lempar, tipis seperti gaya anak muda umumnya). Yang saya pikirkan adalah apakah seketat itu disiplin yang diterapkan untuk seorang anggota kepolisian? Atau mungkin hal tersebut berlaku ketika seorang polisi masih memakai seragam kerjanya?. Mungkin ini resiko menjadi aparat, beberapa haknya harus rela dipangkas (rambut kali…), bergaya saja tidak sebebas orang biasanya. Yah…, mungkin ini menjadi resiko orang seperti mereka!. Saya punya tiga orang teman dari anggota kepolisian. Seperti yang dikatakannya, mereka sudah terbiasa dengan hal-hal semacam itu bahkan mungkin lebih dari itu Karena semasa mereka dalam pendidikan mereka ditempa habis-habisan dan sangat keras dari yang mereka bayangkan sebelumnya. Hal tersebut bukan tidak beralasan, karena semua yang mereka dapatkan di pendidikan, mulai dari cacian, makian dari senior/pendidik mereka agar terbiasa karena nantinya saat mereka terjun melaksanakan tugas di tengah masyarakat mereka pasti akan menemukan hal-hal semacam itu bahkan mungkin resikonya jauh lebih besar dari apa yang mereka dapatkan sewaktu mereaka dalam masa pendidikan.
Selanjutnya di bulan agustus 2009, saat itu saya menjadi Pembina Pendamping pada event pramuka. Pagi itu kebetulan air di tenda kami sudah habis, saya akhirnya berinisiatif untuk ke luar bumi perkemahan untuk membeli air. Di sekitar bumi perkemahan tidak ada yang menjual air isi ulang, mau tidak mau saya ke tengah kota untuk mencari depot air isi ulang. Di jalan raya sekitar 200 meter di depan saja seorang polisi memberhentikan beberapa orang, reflek saya berhenti (sadar saya tidak membawa surat motor yang saya kendarai) dan memutar balik mengambil jalur lain yang polisinya tidak ada yang berjaga. Jalan yang saya lalui sangat lancar sampai saya menemukan depot air untuk mengisi galon kosong yang saya bawa dari bumi perkemahan. Ketika perjalanan kembali ke buper melewati persimpangan motor saya diberhentikan oleh seorang polisi. “(sambil hormat singkat) selamat pagi pak, maaf mengganggu perjalanannya tolong bisa dikeluarkan surat-suratnya?” sambil gugup saya mengeluarkan SIM dan STNK motor yang ada di dompet. Kebetulan kaca spion motor Suzuki yang saya kendarai tidak ada, saya ditanya tentang hal tersebut dan sayapun menjawab dengan alasan ini dan itu. Tidak lama melihat STNK yang saya berikan tadi saya dipersilahkan melanjutkan perjalanan. (yang masih membingungkan saya, STNK yang saya keluarkan adalah Thunder sedangkan motor yang saya kendarai Spin, saya yakin polisi tersebut bisa membaca dan masih bisa membedakan sesuatu termasuk model motor). Ternyata Polisi itu orang baik, biasanya plat kendaraan berbeda saja pasti langsung ditilang tapi pagi itu tidak sama sekali.
Tahun 2011, kejadian ini ketika saya dan 4 orang teman sedang berada di Lombok Timur, siang itu kondisi teman perempuan kami sedang sakit lalu saya dan seorang teman lagi membeli obat di apotik yang ada di kota sekitar lima kilometer jauhnya dari tempat kami menginap. Saat berhenti di traffic light, di depan sudah ada polisi yang berjaga dan di sekitarnya beberapa motor yang terparkir. Was-was, karena motor yang kami kendarai tidak ada kaca spionnya, terang saja gayung bersambut dan ulampun tiba, atau apalah itu peribahasanya, bapak polisi itu menaiki motornya dan menghampiri kami. “ke samping pak!” perintahnya. Selanjutnya tanpa meminta maaf seperti yang dilakukan polisi Sumbawa langsung meminta kami memperlihatkan surat dan sim. Semuanya tidak ada, SIM, STNK, spion, helm. Kunci motor dicabut dan kami diminta berjalan sampai ke pos. semuanya tentang kami berdua ditanya mulai dari nama, alamat, pekerjaan, dll. “bagaimana kamu ini, sudah tidak ada SIM, STNK, spion. Kalo helm yang dibelakang masih bisa tapi ini. Aduh” banyak alasan yang kami gunakan agar dapat telepas dan dibolehkan jalan tanpa ada yang harus ditunggu. Dengan alasan teman yang sakitpun rupanya tidak mempan, kami dibolehkan mencari obat untuk ke apotik tapi dompet beserta KTP ditahan sebagai jaminan kami akan kembali. di tengah mencari obat di perjalanan sambil kami mencari alasan-alasan jitu agar urusannya cepat selesai, karena hari itupun kami harus pulang ke Sumbawa. Setelah mendapatkan obat, kami langsung kembali ke pos polisi tadi, sempat diberikan surat tilang, sempat juga kami menolak dan berargumen dengan sekian banyak macam alasan. Akhirnya sampai di tahap damai, “kalau tidak mau kasih saya tujuh puluh lima ribu saja karena surat tilangnya sudah terlanjur ditulis, masalah sidang dan lainnya biar nanti urusan saya. Urusannya selesai kalian juga bisa cepat pulang ke Sumbawa” mendengar tawaran itu sepertinya angin segar untuk bisa sedikit bernafas, sempat menawar lima puluh ribu, tapi polisi itu mematok harga mati menjadi tujuh puluh ribu. Dari pada urusannya lebih panjang akhirnya uang tujuh puluh ribu kami ikhlaskan hilang dari dompet, toh itung-itung itu sudah menjadi harga yang kami bayar karena sudah melanggar peraturan. Bisa saja polisi tersebut meminta lebih dari itu karena kami orang Sumbawa (maklum di Lombok kata Sumbawa menjadi harga mahal jika menyangkut masalah uang) atau malah tetap mengharuskan kami mengikuti sidang dua hari kemudian yang padahal senin esok kami harus sudah ada Sumbawa untuk kembali bekerja. Pelajaran yang bisa diambi adalah polisi bisa tetap tegas dengan semua disiplin dan peraturan yang harus ditegakkan dan dijalankan tetapi polisi juga manusia yang punya perasaan, yang bisa mempertimbangkan semua konsekuensi dengan kondisi yang ada.

( don’t ever judge something from the cover)


By: dadarguling95@yahoo.com / manusaallorya@ymail.com
Mansy. Siroj Priamitra 18 April 2011, 10.47

Jumat, 15 April 2011

BAWAHAN GOSIPIN ATASAN

“ lebih baik jada bawahan tapi jujur, daripada atasan munafik, sholat dan ceramah cuman jadi topeng doang”

Kurang lebih seperti itulah bunyi status yang saya tulis di salah satu akun jejaring social saya. Hal tersebut berawal saat saya berada di salah satu bank dan tidak sengaja bertemu dengan seorang teman. Kebetulan pula saat itu sedang hujan deras dan cukup lama. Kami memulai dengan mengobrol kecil, ringan hingga masuk ke ranah pekerjaan masing-masing. Saling sharing tentang pekerjaan, suka duka dan sebagainya.
“ga’ orang di pusat , di kabupaten sama aja” begitu katanya saat menyamakan anggota DPR yang sedang dibenci masyarakat dengan atasannya .
Tentang pekerjaan saya sendiri, saya mulai capek dan malas dengan pekerjaan ini. Jujur, Sebenarnya ini lebih kepada orang-orang yang berhubungan dengan pekerjaan yang membuat saya semakin tidak betah dengan pekerjaan saya yang sekarang ini. Sepertinya semua yang saya lakukan selalu saja salah, mulai dari file yang katanya hilang padahal file tersebut tidak pernah diberikan untuk saya kerjakan, data yang harus dipindahkan ke komputer dengan semua deadline kilat yang mereka targetkan untuk saya selesaikan yang memaksa saya untuk membawa pekerjaan itu ke rumah (tentunya dengan alat yang saya punya, bukan dengan fasilitas yang mereka berikan) dan di lain sisi pekerjaan yang mereka berikan untuk saya selesaikan tidak hanya satu, dua atau tiga, tapi banyak. Tidak berhenti sampai di situ saja kadang juga berkas tersebut beberapa kali harus direvisi yang membuat saya bingung kenapa saat direvisi tidak sekaligus tapi bisa sampai lebih dari empat kali dengan berkas yang sama mulai dari berkas asli yang harus dirubah, setelah dirubah berkas tersebut kembali lagi untuk mengikuti aslinya tadi yang belum dirubah akhirnya membuat kertas menjadi mubazir, lebih banyak kertas yang salah daripada yang terpakai, bingung sekaligus makan hati. Sempat suatu pagi saya dihadapkan dengan beberapa pekerjaan (menyelesaikan file) yang harus saya selesaikan, belum selesai satu pekerjaan, satu permintaan lagi agar cepat selesai, ditambah lagi untuk mencari file di PC saya, selanjutnya beberapa berkas lagi masuk untuk segera diselesaikan. Saat itu saya benar-benar blank, pikiran saya asli kosong, saya tidak tau harus mengerjakan yang mana, belum cukup di sini seorang lagi mengajukan berkasnya untuk mengantri saya selesaikan, karena saya sudah blank, reflex saya memukul kepala dengan kedua tangan saya. Beberapa orang di ruangan tersebut yang melihat itu tertawa dengan apa yang saya lakukan.
Kadang saya berpikir apakah saya yang kurang becus mendengar, membaca, melihat dan memahami coretan hasil revisi mereka atau mungkin mereka hanya mau menguji keuletan atau kesabaran saya melihat banyak pekerjaan tersebut. Jika hanya untuk melihat keuletan saja, semua orang juga akan lambat menyelesaikan pekerjaannya karena sudah terlanjur stress dengan pekerjaan yang banyak dan harus segera diselesaikan. Jika menguji kesabaran, semua orang juga akan merasa hilang kesabarannya dengan file yang dirasa sudah beres akan tetapi kembali dicoret dan harus direvisi berulang-ulang ditambah lagi dengan focusnya terbagi dengan deadeline pekerjaan lainnya yang mengantri untuk diselesaikan.
Saya sering merasa sakit hati dan iri jika membandingkan diri saya, pekerjaan saya dengan mereka, belum lagi jika saya tidak sengaja mendengar pembicaraan yang kurang baik tentang pekerjaan saya, ini makin menambah rasa sakit hati saya. “mentang-mentang orang gde, punya fee lebih, cuman nyuruh doank, mikir dikit. Giliran kerjaan kurang beres aja, omongannya sana-sini yang kita lakuin kayaknya remeh banget. Dikiraen kerja kita ga’ pake mikir juga apa?” kadang gerutu seperti itu sesekali ada.
Saya bukan orang yang gampang disanjung, dikasi duit atau apalah. Kadang ada orang yang harus disanjung, dupuji-puji dulu baru dikasi pekerjaan agar mau untuk segera diselesaikan. Ada juga orang yang bisa dikasi duit pelicin untuk sebuah pekerjaan. Tapi maaf itu bukan saya, saya akan menyelesaikan pekerjaan yang lebih dulu masuk ke meja saya (sesekali pekerjaan urgen harus saya dahulukan meski masuknya belakangan, biasanya dari pimpinan, “daripada gw dipecat! Gw juga ga’ mau ambil resiko kale!”). saya tidak munafik kalau saya juga butuh duit tapi saya tidak mau gara-gara uang tersebut nantinya justru membuat saya tersudut justru makin membuat saya sakit hati. saya hanya ingin mereka membaik-baikkan saya, jika ada pekerjaan yang buat mereka itu sebuah kesalahan yang tidak harus terjadi, besar, kecil, sepele ataupun fatal setidaknya langsung berbicara kepada saya tanpa harus berbicara dibelakang saya pada pegawai lainnya. Itu akan membuat saya berkecil hati dan merasa sakit.
Tapi dengan beberapa hal “negative” tersebut saya juga tidak menafikan bahwa di saat itu pula banyak canda dan hal-hal yang masih bisa membuat saya tertawa dan mencoba merasa betah dengan pekerjaan. Seandainya saya memilih keluar dari pekerjaan ini saya harus kerja apa lagi, mencari duit ke mana ke mana lagi, meminta uang pada orangtua untuk keperluan selanjutnya rasanya tidak mungkin. Dilema memang, maka dari itu saya lebih memilih untuk bertahan dengan semua resiko sakit hati dan kecewa nantinya (seandainya mungkin hal itu akan ada, semoga saja tidak).
Cukup dengan cerita pekerjaan saya yang menyedihkan, hik… hik.. hik… (nangis ceritanya nih). Selanjutnya cerita pekerjaan teman saya, sebut saja namanya Pian.
Pian, pria berumur 27 tahun (empat tahun lebih tua dari saya) bekerja di Disperindag Kabupaten. Saat itu dia sedang kesel dengan gajinya yang belum cair, ditambah lagi dompetnya kosong, sepeserpun tidak ada, belum lagi setiap lima hari dalam seminggu sejatinya dia harus masuk kantor dan lagi-lagi memerlukan uang bensin, ditambah lagi makannya, dll. “gw kalo mikirnya stress tau ga’ lo! Untung banget di lingkungan kantor gw ada rumah kakak, jadi bisa numpang makan siang” katanya sesal.
Dia juga menceritakan kekesalan tentang beberapa atasannya di kantor, dari yang pelit, cuek, tidak peduli bawahan, dan lain-lain (dari beberapa orang itu ada juga yang baik dan royal pada bawahannya. Ada yang pelit, pelit banget sampai-sampai duit sisa kembalian lima ratus rupiahpun dimereki. Memang benar tiga bulan terakhir ini gajinya belum cair, biasanya untuk awal tahun semua gaji pegawai dirapel karena dasarnya pegawai kelas bawah yang gajinya pas-pasan di bawah saju juta rupiah, tidak aga yang bisa dilakukan. Jadi Pian harus jeli mencari penghasilan lain di luar gajinya di kantor yang emang tidak seberapa jumlahnya. “ya…, gw harus pinter-pinter nyari kesempatan! Ngetikin tugas kuliah orang lain, bantu proses berkas orang-orang, apa ajalah yang penting dompet gw keisi. Kalo ngarep gaji yang ga’ keluar-keluar, jadinya ga’ bisa jajan, ga’ da bensin buat ke kampus, lo masih untung ga’ ngerokok!”. Itu katanya
Seperti halnya anggota DPR yang sibuk studi banding ke luar negeri, petinggi-petinggi di kabupaten juga juga ga’ jauh beda, hanya saja di kabupaten tingkatannya lebih rendah. Pian juga mengatakan bahwa akalnya pewagai eselon itu patut diacungi jempol, setiap bulan selalu saja absen masuk kantor, alasannya ada studi banding ke luar kota. Setiap ada yang mencari mereka ke kantor jawabannya tidak lain kalau bukan studi banding pasti bintek ke Jakarta, Bandung, Denpasar, alasan sakit tidak berlangsung di sini. “bayangin aja, di dalam satu bulan pasti ada aja jalan mereka huat studi banding ke luar. Palingan katanya bintek ke Jakarta tapi jalan-jalan ampe Mataram doang. Bukan apa-apa sih sekembalinya mereka dari agenda itu tidak ada hasil yang mereka bawa pulang, tapi kalo masalah duit mereka yang paling ga’ mau kurang, ngabisin duit doang. Kalau ditanya masalah anggaran, mereka lebih pinter, di sini duit yang masuk di putar-putar alias manipulasi anggaran. Ibadah tidak pernah telat, ceramah paling bisa tapi kalo masalah uang warna merah mata berubah jadi hijau “topeng doank” seperti itu yang diceritakan pada saya.
Sebenarnya kami masih mau mengobrol lebih lama lagi tapi hujan sepertinya mulai sedikit reda Pian juga masih ada jadwal kuliahnya sore itu. Jadinya kita berpencar dan saya mencari tempat untuk hostpotan.

By: dadarguling95@yahoo.com / manusaallorya@ymail.com
Mansy. Siroj Priamitra, 15 April 2011, 12.12 am

Sabtu, 02 April 2011

SEBELUM 40 HARI

Ku melihat diri berdiri tegap terdiam di atas gumpalan awan
Tak ada yang menyelimuti raga hanya kabut langit kelabu
Tak ada udara, tak ada pula pasokan nafas pengalir darahku
Mata berkaca meratapi tubuh yang mulai lelah yang tetap tegap tak bergoyah
Menangis, tapi tak boleh membuat celah penyesalan
Masih tetap berdiri dengan mata yang sedetik lagi meneteskan embun

Lalu kurasakan tubuhku mulai berpeluh
Kucium bau lembabnya yang kasar dan tawar
Kudengar titikan tetesnya yang terjatuh
Sekali, dua kali, tiga kali dan lalu berkali-kali itu terjatuh meneteskan titik
Pelan sebenarnya tapi terlalu keras hingga memekakkan telinga

Setelah itu seakan gunung terjatuh tepat di atas kepalaku
Berat, hingga aku makin merunduk, duduk, menjongkok dan terkapar
Tak kuasa menahan beratnya yang semakin bertambah
Membunuh kekuatanku yang jauh dan makin mengecil

Tak ada waktu untuk mengembalikan tenagaku yang semula

Sesaat kemudian terlihat jasadku terikat
Tergantung,
Dikuliti,
Dagingnya terpisah,
Tulang belulangnya dipatahkan,
Hingga di akhir tak kukenali itu tubuhku yang dulu

Pasrahku kemudian dengan apa yang akan terjadi
Hanya maafku yang memohon untuk berhenti itu terjadi
Khilaf dalam sadarku, ini bukan kuasaku
Maafkan segala kesalahanku


Dadarguling95@yahoo.com / manusaallorya@ymail.com. . Mansy. Siroj Priamitra, jum’at, 01 april 2011, 10.05

KEBETULAN

kebetulan aku ga’ sengaja ke pantai
kebetulan juga kita ketemu
kebetulan aku iseng ngebaca
kebetulan juga kamu datang
kebetulan aku sendiri saat itu
kebetulan juga kamu datang bareng temen kamu
kebetulan saat itu aku diem
kebetulan juga saat itu kamu rame
kebetulan aku senyum
kebetulan saat itu kamu ketawa riang
kebetulan aku penasaran sama kamu
kebetulan juga kamu ngasi nomer hape ke aku
kebetulan aku suka sama kamu
kebetulan juga kamu ngasi tanda itu
kebetulan saat aku inget kamu
kebetulan juga kamu jawab sms aku
kebetulan kita sama-sama suka
kebetulan kita masih sendiri
kebetulan kamu menyatakan cinta lebih dulu
kebetulan aku juga ingin memacarimu
kebetulan saat aku ingin serius
kebetulan pula ayahmu memasang harga terlampau tinggi
kebetulan sesudah itu kita banyak masalah
kebetulah juga kita sering tidak sesikap dan sejalan
kebetulan akhirnya kita putus
kebetulan, sudajlah semuanya….
Dadarguling95@yahoo.com / manusaallorya@ymail.com
Mansy. Siroj Priamitra, 30 Maret 2011, 01 April 2011,. 10.45am